TARAKAN – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi sorotan dalam diskusi publik yang digelar Komunitas Rumah Inspirasi Perbatasan di Ballroom Hotel Monaco, Tarakan, Kalimantan Utara, pada Selasa, 15 April 2025.
Bertajuk “Menilik UU TNI: Menjaga Prinsip Demokratis dan Profesionalitas TNI”, forum ini menghadirkan perwakilan TNI, akademisi, mahasiswa, dan organisasi kepemudaan untuk menggali implikasi revisi UU tersebut.
Diskusi ini mencuatkan sejumlah isu krusial: potensi dampak UU terhadap kebebasan berpendapat, perpanjangan usia pensiun prajurit, hingga kekhawatiran atas keterlibatan TNI di sektor non-militer, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dualisme fungsi TNI dalam dinamika demokrasi Indonesia juga menjadi perhatian utama.
Komandan Lantamal XIII Tarakan, Laksamana Pertama TNI Ferry Supriady, menyambut baik inisiatif dialog ini.
“Diskusi ini membuka wawasan, dari latar belakang revisi hingga substansi perubahan,” ujarnya, seraya memuji riset yang mendasari acara tersebut.
Menurut Ferry, revisi UU TNI, yang mulai dibahas sejak Prolegnas 2010 dan disahkan pada 2024, telah menghilangkan pasal-pasal yang dulu memicu kontroversi.
“TNI kini mengusung semangat ‘we will fight, we will serve’, menuju profesionalisme dan keterbukaan,” tegasnya.
Ferry juga menyinggung soal kebebasan berekspresi. Ia menegaskan TNI tidak anti-kritik dan mendukung aspirasi masyarakat, asalkan disampaikan secara tertib.
“Silakan berdemonstrasi, tapi jangan merusak fasilitas umum. Kami terbuka berdiskusi,” katanya, menyebut telah mendapat restu dari pimpinan untuk menyampaikan materi secara transparan.
Namun, tidak semua peserta sependapat dengan proses revisi UU TNI. Tajudin Nor, perwakilan mahasiswa dan organisasi kepemudaan, menyayangkan minimnya keterlibatan publik dalam pengesahan UU.
“Prosesnya terasa tertutup. Keterlibatan TNI di BUMN, misalnya, memicu dualisme fungsi,” kritiknya. Meski begitu, ia mengakui keterbukaan TNI dalam dialog ini sebagai langkah maju.
Pandangan akademis disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, Syafruddin. Ia menjelaskan bahwa sistem peradilan di Indonesia telah mengatur mekanisme penanganan pelanggaran yang melibatkan militer.
“Jika tindakan bersifat sipil, peradilan umum berlaku. Jika militer, peradilan militer,” ujarnya.
Syafruddin menilai revisi UU TNI justru memperkuat demokrasi dengan menyeimbangkan peran militer dan kepentingan sipil, meski edukasi publik tetap diperlukan untuk mencegah miskonsepsi.
Ketua DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kalimantan Utara, Ainulyansyah, menyoroti kurangnya transparansi dalam proses legislasi. Ia mempertanyakan rapat DPR di hotel yang bertepatan dengan isu efisiensi anggaran, serta sulitnya publik mengakses draf RUU.
“Rapat tertutup memicu kecurigaan. Kami harap ke depan prosesnya lebih inklusif,” katanya.
Ainulyansyah berharap TNI tidak hanya profesional, tetapi juga akuntabel dan dekat dengan rakyat.
Forum ini ditutup dengan komitmen untuk menjaga komunikasi terbuka antara TNI, masyarakat, dan akademisi.
Peserta berharap dialog serupa dapat rutin digelar guna menampung aspirasi sekaligus memperjelas peran TNI dalam demokrasi dan keamanan nasional. Sebagai kota perbatasan, Tarakan menunjukkan semangatnya berkontribusi dalam diskursus nasional yang konstruktif. (*)