TARAKAN – Banyak hal menarik dari kasus dugaan korupsi aliran dana hibah untuk program Pengelola Fasilitas Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) tahun anggaran 2021. Tidak hanya membuat Direktur Utama PT Benuanta Kaltara Jaya (BKJ), Haeruddin Rauf dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltara Hamsi harus mendekam di penjara, tapi juga perihal ‘jalan cerita’ kasus ini dari awal hingga akhir.
Media ini pun berusaha mencari lembar-lembar bukti yang diangkat dalam persidangan yang menjerat keduanya. Semua berawal dari tahun 2020, di akhir-akhir masa jabatan Irianto Lambrie sebagai Gubernur Kaltara. Kala itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan program Pengelola Fasilitas Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara. Anggarannya tak sedikit, Rp4 miliar!
Melihat peluang peninggalan Irianto Lambrie ini, Gubernur Kaltara, Zainal Arifin Paliwang yang belum setahun menjabat berminat dan bergerak cepat. Mantan Wakapolda Kaltara ini langsung menyiapkan seluruh perangkat untuk menjalankannya. Termasuk menunjuk PT BKJ sebagai pelaksana teknis, di bawah kendali Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltara yang dipimpin Obed Daniel. Berbagai surat dalam bentuk komitmen pun diteken. KLHK setuju, DLH matangkan perangkat, PT BKJ siap jalankan program.
Awalnya, seluruh rangkaian awal pelaksanaan berjalan baik. Hingga, akhirnya Gubernur Kaltara menunjuk Drs Hamsi SSos MT sebagai Kepala DLH Kaltara menggantikan Obet Daniel. Informasi yang didapatkan media ini, jauh sebelum menjabat sebagai kepala dinas, Hamsi sudah diberi tugas membentuk tim verifikasi dan evaluasi usulan dana hibah yang telah diputuskan oleh gubernur. Salah satu gebrakannya adalah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 900/020/SK/DLH/VIII/2021, tanggal 20 Agustus 2021 tentang tim verifikasi dan evaluasi usulan dana hibah pada tahun 2021.
Baca juga : https://infoindo.co.id/korupsi-dana-hibah-pt-bkj-kembali-dibahas-ini-kata-pakar-soal-korupsi/
Salah seorang informan infoindo.co.id, Rana –nama disamarkan– mengatakan, proses verifikasi dan evaluasi itu dilakukan pada 24 Agustus 2021. Hasilnya, dirampungkan dengan berita acara yang isinya menyebutkan bahwa berkas usulan lengkap sehingga dapat diteruskan ke langkah selanjutnya. Berita acara ini juga ditanda tangani oleh petugas verifikator bernama Armiaty.
“Yang tanda tangan adalah Haeruddin Rauf, dan Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Utara, serta Martinus Aing selaku Perangkat Desa atau Kelurahan,” ungkap Rana.
Berita acara yang berisi dokumen dan observasi peninjauan lapangan calon penerima hibah dan bantuan sosial terencana Tahun Anggaran 2021, ungkap Rana, berisi informasi terkait penggunaan dana untuk kegiatan fisik sebesar Rp 4.318.650.000,00 dengan waktu penyelesaian kegiatan selama150 hari kerja yang kemudian dibulatkan menjadi Rp4 miliar.
Atas dasar berita acara itulah, Hamsi yang telah menjabat Kepala DLH Kaltara mengirim surat kepada Gubernur Kaltara bernomor 660/339.1/BID.II-DLH, tanggal 25 Agustus 2021 perihal Rekomendasi Usulan Permohonan Hibah Terencana Tahun Anggaran 2021 melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan. Surat itu juga berisi rincian kebutuhan dan anggaran program yang sudah disepakati.
“Almarhum Pak Hamsi, tidak bertindak secara sendiri dalam memutuskan penganggaran dana hibah ini. Ada mekanisme dan prosedur yang sudah dilalui beliau. Seharusnya, kalau memang dana hibah tidak boleh dianggarkan untuk Perseroda PT BKJ karena terbentur regulasi, maka dokumen dari tim evaluasi usulan ditolak oleh TAPD. Tapi ini kenapa bisa lolos?” ungkap Rana.
Setelah itu, Hamsi menyiapkan Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) DLH Kaltara pada tanggal 29 Oktober 2021. “Berdasarkan DPPA SKPD DLH Kaltara, Gubernur Kaltara kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 188.44/K716/2021 tanggal 1 November 2021 tentang Pemberian Hibah Berupa Uang kepada PT BKJ sebagai unit pengelola. Ini kan jelas dan terang, bahwa terhadap keputusan pemberian dana hibah yang seharusnya tidak sah dan BKJ tidak berhak menerima dana hibah adalah kesalahan dari keputusan gubernur,” tegas Rana.
Hamsi, kata Rana, sebagai anak buah langsung menindaklajuti titah gubernur tersebut dengan mengirim surat ke PT BKJ. Surat ini ditanggapi Haeruddin Rauf sebagai direktur dengan mengajukan proposal pencairan dana hibah.
“Begitulah alurnya, kenapa kemudian PT BKJ itu bisa terima dana hibah,” jelas Rana.
Proses pencairan dana hibah ini, papar Rana, dilakukan 2 hari setelah disetujui, yakni pada tanggal 4 November 2021. Saat itu, Hamsi bersama dengan Haeruddin Rauf menandatangani dokumen tertulis Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Keesokan harinya, kata Rana mengutip risalah sidang, Hamsi langsung mengeluarkan beberapa surat untuk pencairan dana hibah diantaranya, lembar Surat Perintah Membayar (SPM) tanggal 05 November 2021 yang ditandatangani oleh Hamsi selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
“Ada beberapa orang saksi saat itu. Ada Ilham Hidayat selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dan saksi Septi Bintani selaku Bendahara Pengeluaranl. Kemudian ada Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) Provinsi Kalimantan Utara yaitu saksi Andin Abdurrakhman menandatangani Surat Perintah Pencairan Dana,” katanya.
Fakta lainnya, kata Rana, keputusan Gubernur Kaltara Zainal A Paliwang memberikan dana hibah kepada PT BKJ bertentangan dengan keterangan ahli Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam keterangannya, BPKP Kaltara menyebut, PT BKJ yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemprov Kaltara tidak berhak dan tidak sah menerima dana hibah dalam bentuk uang sebesar Rp4 miliar dari Pemprov Kaltara.
“Hal itu, kata saksi ahli, bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 77 tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah,” sebut Rana.
Seperti diketahui, dana hibah yang cair tersebut hanya terpakai Rp1,4 miliar lebih. Sisanya, Rp1,1 miliar lebih, sebagaimana disamnpaikan ahli dan saksi-saksi di persidangan digunakan oleh Direktur PT BKJ untuk kepentingan operasional perusahaan dan pembayaran gaji karyawan perusahaan.
“Yang sebelumnya tidak dapat dibayarkan karena perusahaan mengalami kesulitan keuangan,” ungkap narasumber lainnya.
Sebelumnya, Pakar Hukum Pidana Universitas Borneo Tarakan (UBT), Aris Irawan mengatakan, siapa pun yang terbukti melakukan perkara korupsi harus ditindak secara hukum. Bukan hanya menjerat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), tapi siapa saja yang memenuhi unsur perbuatan dalam ketentuan Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Mereka yang dimaksud Aris adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bendahara, panitia pengadaan atau lelang, konsultan perencana atau pengawas, kontraktor atau rekanan swasta yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, pihak ketiga lainnya yang ikut serta melakukan, menyuruh melakukan, atau membantu melakukan korupsi juga harus ditindak tegas.
“Dalam sistem hukum Indonesia, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak membatasi pelaku hanya pada pejabat pemerintah. Pihak swasta juga bisa dijerat, jika terbukti memperkaya diri atau orang lain dengan cara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara,” ungkapnya.
Selanjutnya, beber pria yang juga pengacara ini, atasan yang mengetahui adanya tindak pidana korupsi tetapi membiarkan bawahannya mengeksekusi tanpa mematuhi ketentuan hukum, juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tidak sampai di situ, korporasi sebagai badan hukum, juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, jika korupsi dilakukan untuk kepentingan korporasi.
“Dengan demikian, lingkup pelaku dalam tindak pidana korupsi bersifat luas dan inklusif. Untuk memastikan siapa saja yang terlibat aktif dalam merugikan keuangan negara, bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, tidak hanya terbatas pada pejabat pengguna anggaran,” terang Aris.
Sementara itu, Gubernur Kaltara Zainal Arifin Paliwang hingga saat ini belum bersedia memberikan jawabannya atas kasus ini. Bahkan pesan singkat hingga surat resmi yang dilayangkan media ini tak kunjung berbalas. (bar)